Minggu, 26 November 2017

Kisah khalifah Ali bin Abi Thalib

ALI BIN ABU THALIB (559 - 661 M)


Ali dilahirkan di Kota Mekah, di daerah Hejaz Jazirah Arab sekitar 10 tahun sebelum kenabian Muhammad SAW.  Ayahnya adalah: Abu Thalib, paman Nabi saw, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah: Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat.
Sejak kecil, Ali RA dikenal sebagai anak yang cerdas dan pemberani.  Ali RA mengikuti Nabi SAW sejak umur 6 tahun.  Ia juga termasuk dalam golongan yang pertamakali mengakui kenabian Muhammad SAW.   Ia dikenal sebagai sosok yang gagah berani dan sederhana (zuhud).  Keberaniannya itu ia tunjukkan dalam kesanggupannya untuk menggantikan posisi nabi ditempat tidur ketika Nabi SAW akan hijrah.  Kala itu kaum kafir sudah mengepung rumah Nabi SAW, namun Ali RA tidak sedikitpun merasa takut. 
 
Ali meminang salah seorang anak Nabi SAW, yaitu Fatimah Az-zahra.  Anak-anaknya adalah: Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, dari Fathimah binti Rasulullah Saw. Seorang isteri yang tidak pernah diperlakukan buruk oleh Ali r.a. selama hidupnya. Bahkan Ali tetap selalu mengingatnya setelah kematiannya. Ia juga mempunyai beberapa orang anak dari isteri-isterinya yang lain, yang ia kawini setelah wafatnya Fathimah r.a. Baik isteri dari kalangan wanita merdeka maupun hamba sahaya. Yaitu: Muhsin, Muhammad al Akbar, Abdullah al Akbar, Abu Bakar, Abbas, Utsman, Ja'far, Abdullah al Ashgar, Muhammad al Ashghar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al Awsath, Ummu Hani, Maimunah, Rahmlah ash Shugra, Zainab ash Shugra, Ummu Kaltsum ash Shugra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummu al Karam, Ummu Salmah, Ummu Ja'far, Jumanah, dan Taqiyyah.

Keberaniannya itu pula ia tunjukkan untuk membela panji-panji Islam.  Dalam perang Badar, dimana pasukan muslimin hanya sedikit, sedangkan kaum kafir yang menyerang berlipat-lipat jumlahnya.  Ali RA menjadi penyemangat kaum muslimin, sehingga meraih kemenangan. Karena sulitnya menghadapi lawan yang berlipat jumlahnya, maka saat meraih kemenangan, para pejuang Islam disambut dengan takjub dan diberi sebutan “ahlul Badar”.   
Ali RA juga terkenal dengan pedang "dzulfikar”nya.  Pada perang Uhud, Ali melindungi Nabi SAW yang kala itu terjepit hingga gigi beliau bahkan rompal dan darah mengalir di mana-mana. Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat bertarung para sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis. Pada perang tersebut Nabi SAW banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul-Badar termasuk pamannya, Hamzah --sang singa padang pasir. Namun demikian, Allah SWT menggantikannya dengan masuk Islamnya sang Panglima perang Uhud, Khalid bin Walid. Khalid memberikan kontribusi yang besar bagi perjuangan Islam hingga akhir hayatnya. Dalam perang Uhud ini pulalah Ali RA melihat kesahajaan sosok Fatimah binti Muhammad SAW.  Fatimah turut serta dalam perang tersebut dan membasuh luka ayahnya dan juga Ali RA, berikut pedang dan baju bersimbah darah.

Dalam perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. kembali menjadi pahlawan, setelah cuma ia satu-satunya sahabat yang 'berani' maju meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud Ali bertarung satu lawan satu. Ali dengan pedang “dzulfikar”nya berhasil menebas ‘Amr sehingga terbelah menjadi dua.  Sementara dalam perang Khaibar, dimana kaum Yahudi melanggar perjanjian Huaibiah dan memerangi kaum Muslim, Ali berhasil menerobos Benteng Khaibar yang amat kokoh dan menghancurkan pertahanan kaum Yahudi.

Seluruh peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk. Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang Tabuk.
Setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Pada masa inilah, Ali kemudian mengasah diri mnjadi seorang pemikir. Keperkasaannya dan keberaniannya yang banyak dikagumi telah berubah menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali terinspirasi oleh kata-kata mendiang Rasulullah, "jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya".   Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Ali begitu terbenam didalamnya, hingga kemudian ia 'terbangun' kembali dan tersadar melihat begitu banyak perubahan karena banyaknya perselisihan antar para sahabat yang sulit untuk menemukan kesepakatan tentang berbagai persoalan.  Dan ia menyadari, hal tersebut karena adanya perbedaan pemahaman terhadap suatu masalah, ditambah lagi dengan munculnya orang-orang munafik yang mulai kembali menentang pemerintahan Islam sepeninggal Nabi SAW.

Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Namun demikian, kemudian timbullah persoalan ketika Ali mulai mengeluarkan kebijakasanaan baru sebagai khalifah. Ali menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.  Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan.
Ali ibn Abi Thalib menghadapi masalah selanjutnya, yaitu adanya pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim, namun Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman.s Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.

Kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan namaperang shifiin.  ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, kaum khawariz orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH TANGGUNG JAWAB DALAM ISLAM

MAKALAH AL QURAN HADIST TANGGUNG JAWAB DALAM ISLAM DISUSUN...