MAKALAH
AQIDAH AKHLAK
FATIMAH
AZ-ZAHRA
DISUSUN
OLEH
NAMA : AMARDSA MAULIDA KANIAR
KELAS : XI MIA 1
MAN
19 JAKARTA
2017/2018
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang "FATIMAH AZ-ZAHRA" ini.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita,
yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus
berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi
seluruh alam semesta.
kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas Aqidah akhlak dengan judul "FATIMAH AZ-ZAHRA". Semoga makalah ini dapat memenuhi tugas yang diberikan ibu Idawati S.Pd M.M selaku guru Aqidah Akhlak kami.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat, apabila ada kesalahan mohon dimaafkan
kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas Aqidah akhlak dengan judul "FATIMAH AZ-ZAHRA". Semoga makalah ini dapat memenuhi tugas yang diberikan ibu Idawati S.Pd M.M selaku guru Aqidah Akhlak kami.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat, apabila ada kesalahan mohon dimaafkan
Jakarta, November 2017
DAFTAR ISI
Kata pengantar .............................................................................................................
2
Pendahuluan
.................................................................................................................
4
Kelahiran Fatimah az-zahra
.........................................................................................4
Kehidupan dan kasih sayang fatimah az zahra
............................................................ 6
Pernikahan fatimah az zahra.........................................................................................
7
Keluarga teladan
..........................................................................................................
9
Kelahiran buah hati
.....................................................................................................
9
Kepergian sang ayah
...................................................................................................10
Wafatnya fatimah az zahra .........................................................................................11
Kedudukan fatimah az zahra
......................................................................................12
Kesimpulan ................................................................................................................13
Daftar pustaka ............................................................................................................
13
I.
Pendahuluan
Fatimah Az zahra adalah Putri tercinta Rasulullah SAW.
Beliau lahir dari Keluarga yang paling
mulia dan dididik dalam lingkungan Kenabian. Beliau adalah sosok yang mulia dan
panutan bagi umat muslim setelah Rasulullah SAW. Beliau adalah semulia-mulia
teladan bagi wanita yang mukmin.. Beliau adalah pribadi yang selalu berada
dalam kebenaran. Beliau adalah Pribadi yang disucikan oleh Allah SWT dari
segala dosa.
Beliau Sayyidah Fatimah AS adalah Wanita penghuni surga yang paling utama
Rasulullah SAW bersabda” Wanita penghuni surga yang paling utama adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Mazahim istri Firaun.(Hadis shahih riwayat Ahmad,Thabrani,Hakim,Thahawi dalam Shahih Al Jami’As Saghir no 1135 dan Silsilah Al Hadits Al Shahihah no1508).
Beliau Sayyidah Fatimah AS adalah Pemimpin atau penghulu seluruh wanita di surga
Bahwa ada malaikat yang datang menemui Rasulullah SAW dan berkata “sesungguhnya Fathimah adalah penghulu seluruh wanita di dalam surga”.(Hadis riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak dengan sanad yang baik).
Rasululah SAW bersabda kepada Fathimah“Tidakkah Engkau senang jika Engkau menjadi penghulu bagi wanita seluruh alam” (Hadis riwayat Al Bukhari dalam kitab Al Maghazi) .
Beliau adalah semulia-mulia wanita dan Sayyidah wanita sedunia.
Beliau Sayyidah Fatimah AS adalah Wanita penghuni surga yang paling utama
Rasulullah SAW bersabda” Wanita penghuni surga yang paling utama adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Mazahim istri Firaun.(Hadis shahih riwayat Ahmad,Thabrani,Hakim,Thahawi dalam Shahih Al Jami’As Saghir no 1135 dan Silsilah Al Hadits Al Shahihah no1508).
Beliau Sayyidah Fatimah AS adalah Pemimpin atau penghulu seluruh wanita di surga
Bahwa ada malaikat yang datang menemui Rasulullah SAW dan berkata “sesungguhnya Fathimah adalah penghulu seluruh wanita di dalam surga”.(Hadis riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak dengan sanad yang baik).
Rasululah SAW bersabda kepada Fathimah“Tidakkah Engkau senang jika Engkau menjadi penghulu bagi wanita seluruh alam” (Hadis riwayat Al Bukhari dalam kitab Al Maghazi) .
Beliau adalah semulia-mulia wanita dan Sayyidah wanita sedunia.
II.
Kelahiran
Fatimah Az-zahra
Sayyidah Fathimah s.a. dilahirkan pada
hari Jumaat pada tanggal 20 Jumadits-Tsani, tujuh tahun lapan bulan sepuluh
hari sebelum Rasulullah hijrah, atau tahun 603 Masehi. Ketika Khadijah dinikahi
Rasulullah, beliau dijauhi oleh wanita-wanita Quraiys, bahkan mereka sampai
memutus silaturrahmi dengannya. Mereka berkata, "Mengapa wanita kaya
seperti Khadijah mau mengawini laki-laki biasa dan faqir seperti
Muhammad".
Ketika Khadijah mau melahirkan putrinya Fathimah, wanita-wanita Quraiys tidak mau menolongnya. Ketika dimintai tolong, mereka menjawab, "Karena kamu tidak mau mendengarkan perkataan kami dan tetap mengawini Muhammad, laki-laki miskin dan tidak mempunyai apa-apa itu, sekarang, kami tidak mau membantumu. Kami tidak akan memperhatikanmu serta kami tidak akan mengabulkan permintaanmu".
Khadijah tentu sangat kecewa mendengar jawaban mereka karena dia harus menjalani masa-masa persalinan sendirian. Namun, diriwayatkan bahwa secara tiba-tiba, ada empat wanita masuk ke dalam kamarnya dan mendekatinya. Khadijah menduga bahwa mereka adalah wanita-wanita dari Bani Hasyim.
Salah satu dari mereka berkata, "Wahai Khadijah, kami adalah utusan Tuhanmu. Kami adalah wanita-wanitamu. Aku adalah Sarah dan ini Asiyah binti Muzahim, temanmu di surga. Itu adalah Maryam binti Imran, dan yang satu lagi adalah Kultsum, saudaranya Musa bin Imran. Kami datang untuk menolongmu." (Biharul Anwar: VI, halaman 342, riwayat nomor 79).
Salah satu dari mereka duduk di sebelah kanan dan yang satu di sebelah kiri. Satu lagi di ujung kaki dan yang satu lagi di belakang kepala Khadijah. Mereka menolong Khadijah ketika mau melahirkan putrinya Fathimah. Pada hari itu, Fathmah dilahirkan ke dunia dalam kaadaan suci dan bersih. Dari wajahnya terpancarkan cahaya sampai menerangi ke dalam rumah-rumah penduduk Mekkah dan menerangi seluruh tempat di sekitarnya. Pada waktu itu, masuk ke dalam rumuh Khadijah sepuluh wanita bidadari. Setiap orang membawa bejana yang di dalamnya berisi air yang diambil dari Al-Kautsar di surga. Wanita yang ada di hadapan Khadijah mengambil salah satu air itu dan memandikan Fathimah dengan air itu. Ia mengeluarkan dua handuk putih yang lebih putih dari susu serta menebarkan wewangian yang lebih wangi dari minyak misik. Satu handuk ditempelkan di badan Fathimah, dan yang satu lagi di kepalanya.
Tiba-tiba Fathimah yang masih bayi itu mampu berbicara. Ia berkata, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan ayahku adalah utusan-Nya. Aku bersaksi bahwa suamiku adalah awliyaullah dan anak-anakku adalah cucunya Nabi."
Kemudian, beliau mengucapkan salam kepada empat wanita yang ada di sekelilingnya dengan menyebut nama mereka satu persatu. Setelah semuanya selesai, wanita-wanita itu meninggalkan rumah Khadijah.
Ketika Khadijah mau melahirkan putrinya Fathimah, wanita-wanita Quraiys tidak mau menolongnya. Ketika dimintai tolong, mereka menjawab, "Karena kamu tidak mau mendengarkan perkataan kami dan tetap mengawini Muhammad, laki-laki miskin dan tidak mempunyai apa-apa itu, sekarang, kami tidak mau membantumu. Kami tidak akan memperhatikanmu serta kami tidak akan mengabulkan permintaanmu".
Khadijah tentu sangat kecewa mendengar jawaban mereka karena dia harus menjalani masa-masa persalinan sendirian. Namun, diriwayatkan bahwa secara tiba-tiba, ada empat wanita masuk ke dalam kamarnya dan mendekatinya. Khadijah menduga bahwa mereka adalah wanita-wanita dari Bani Hasyim.
Salah satu dari mereka berkata, "Wahai Khadijah, kami adalah utusan Tuhanmu. Kami adalah wanita-wanitamu. Aku adalah Sarah dan ini Asiyah binti Muzahim, temanmu di surga. Itu adalah Maryam binti Imran, dan yang satu lagi adalah Kultsum, saudaranya Musa bin Imran. Kami datang untuk menolongmu." (Biharul Anwar: VI, halaman 342, riwayat nomor 79).
Salah satu dari mereka duduk di sebelah kanan dan yang satu di sebelah kiri. Satu lagi di ujung kaki dan yang satu lagi di belakang kepala Khadijah. Mereka menolong Khadijah ketika mau melahirkan putrinya Fathimah. Pada hari itu, Fathmah dilahirkan ke dunia dalam kaadaan suci dan bersih. Dari wajahnya terpancarkan cahaya sampai menerangi ke dalam rumah-rumah penduduk Mekkah dan menerangi seluruh tempat di sekitarnya. Pada waktu itu, masuk ke dalam rumuh Khadijah sepuluh wanita bidadari. Setiap orang membawa bejana yang di dalamnya berisi air yang diambil dari Al-Kautsar di surga. Wanita yang ada di hadapan Khadijah mengambil salah satu air itu dan memandikan Fathimah dengan air itu. Ia mengeluarkan dua handuk putih yang lebih putih dari susu serta menebarkan wewangian yang lebih wangi dari minyak misik. Satu handuk ditempelkan di badan Fathimah, dan yang satu lagi di kepalanya.
Tiba-tiba Fathimah yang masih bayi itu mampu berbicara. Ia berkata, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan ayahku adalah utusan-Nya. Aku bersaksi bahwa suamiku adalah awliyaullah dan anak-anakku adalah cucunya Nabi."
Kemudian, beliau mengucapkan salam kepada empat wanita yang ada di sekelilingnya dengan menyebut nama mereka satu persatu. Setelah semuanya selesai, wanita-wanita itu meninggalkan rumah Khadijah.
III.
Kehidupan
dan kasih sayang Fatimah Az-zahra
Fatimah
as hidup dan tumbuh besar di haribaan wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw.
Beliau dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah
SWT dan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Acapkali Rasulullah saw melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya.
Pada suatu hari, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah as.
Beliau menegaskan, “Wahai ‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Ia tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku.”
Kaum muslimin telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi nama Fatimah karena dengan nama itu Allah SWT telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.
Fatimah Az-Zahra’ as menyerupai ayahnya Muhammad saw dari sisi rupa dan akhlaknya.
Ummu Salamah ra, istri Rasulullah, menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Demikian juga ‘Aisyah. Ia pernah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya.
Fatimah as mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun.
Setelah ibunda kinasihnya, Khadijah as wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu.
Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.
Fatimah senantiasa mengajak bicara sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.
Acapkali Rasulullah saw melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya.
Pada suatu hari, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah as.
Beliau menegaskan, “Wahai ‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Ia tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku.”
Kaum muslimin telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi nama Fatimah karena dengan nama itu Allah SWT telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.
Fatimah Az-Zahra’ as menyerupai ayahnya Muhammad saw dari sisi rupa dan akhlaknya.
Ummu Salamah ra, istri Rasulullah, menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Demikian juga ‘Aisyah. Ia pernah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya.
Fatimah as mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun.
Setelah ibunda kinasihnya, Khadijah as wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu.
Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.
Fatimah senantiasa mengajak bicara sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.
IV.
Pernikahan
Fatimah Az-zahra
Setelah
Fatimah as mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke
rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya
meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw menolak
semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, “Saya menunggu
keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as).”
Kemudian,
Jibril as datang untuk mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah
menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as
datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk
meminang Fatimah as. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta
pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang
yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku
telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik
mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan
pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?"
Fatimah
as diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu
Akbar! Diamnya adalah tanda kerelaannya.”
Rasulullah
saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang menantu seraya
berkata, “Bangunlah! 'Bismillah, bi barakatillah, masya’ Allah la quwwata illa billah,
tawakkaltu 'alallah.”
Kemudian,
Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya
Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka
cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya.
Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang
terkutuk.”
Rasulullah
mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau
berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.”
Dan
kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah
suamimu”.
Di
tengah-tengah keramaian dan kerumunan wanita yang berasal dari kaum Anshar,
Muhajirin, dan Bani Hasyim, telah lahir sesuci-suci dan seutama-utamanya
keluarga dalam sejarah Islam yang kelak menjadi benih bagi Ahlulbait Nabi yang
telah Allah bersihkan kotoran jiwa dari mereka dan telah sucikan mereka dengan
sesuci-sucinya.
Acara
pernikahan kudus itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak
memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain
pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual
pedangnya. Tetapi Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang
itu, dan setuju apabila Ali menjual perisainya.
Setelah
menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang
tersebut beliau menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah
tangga yang sederhana guna memenuhi kebutuhan keluarga yang baru ini.
Kehidupan
mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di
samping masjid Nabi saw.
Hanya
Allah SWT saja yang mengetahui kecintaan yang terjalin di antara dua hati, Ali
dan Fatimah. Kecintaan mereka hanya tertumpahkan demi Allah dan di atas
jalan-Nya.
Fatimah
as senantiasa mendukung perjuangan Ali as dan pembelaannya terhadap Islam
sebagai risalah ayahnya yang agung nan mulia. Dan suaminya senantiasa berada di
barisan utama dan terdepan dalam setiap peperangan. Dialah yang membawa panji
Islam dalam setiap peperangan kaum muslimin. Ali pula yang senantiasa berada di
samping mertuanya, Rasulullah saw.
Fatimah
as senantiasa berusaha untuk berkhidmat dan membantu suami, juga berupaya untuk
meringankan kepedihan dan kesedihannya. Beliau adalah sebaik-baik istri yang taat.
Beliau bangkit untuk memikul tugas-tugas layaknya seorang ibu rumah tangga.
Setiap kali Ali pulang ke rumah, ia mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan
kebahagiaan di sisi sang istri tercinta.
Fatimah
as merupakan pokok yang baik, yang akarnya menghujam kokoh ke bumi, dan
cabangnya menjulang tinggi ke langit. Fatimah dibesarkan dengan cahaya wahyu
dan beranjak dewasa dengan didikan Al-Qur'an.
V.
Keluarga
Teladan
Kehidupan
suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk
menjalin kehidupan bersama.
Kehidupan
keluarga dibangun atas dasar kerjasama, tolong menolong, cinta, dan saling
menghormati.
Kehidupan
Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami istri yang
bahagia. Ali senantiasa membantu Fatimah dalam pekerjaan-pekerjaan rumah
tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah selalu berupaya untuk mencari
keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan rasa gembira kepada
suaminya.
Pembicaraan
mereka penuh dengan adab dan sopan santun. "Ya binta Rasulillah";
wahai putri Rasul, adalah panggilan yang biasa digunakan Imam Ali setiap kali
ia menyapa Fatimah. Sementara Sayidah Fatimah sendiri menyapanya dengan
panggilan “Ya Amirul Mukminin”; wahai pemimpin kaum mukmin.
Demikianlah
kehidupan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah as.
Keduanya
adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri, atau pun bagi orang tua
terhadap anak-anaknya.
VI.
Kelahiran
Buah Hati
Pada
tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah
saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda
ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah pada
telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Setahun
kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan
keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya
dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa
mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila
Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau
pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.
Suatu
hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau mendengar
tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan,
“Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”
Satu
tahun berselang, Fatimah as melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun
lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu
Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as itu dengan nama-nama tersebut.
Dan
begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya
Fatimah Zahra as.
VII.
Kepergian
Sang Ayah
Sekembalinya dari Haji
Wada‘, Rasulullah saw jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas
dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as bergegas menghampiri beliau dan
berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang luruh berderai,
Fatimah berharap agar sang maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai
tebusan jiwa ayahandanya.
Tidak lama kemudian
Rasul saw membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu
dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan
ayat-ayat suci Al-Qur'an. Fatimah pun segera membacakan Al-Qur'an dengan suara
yang khusyuk.
Sementara sang ayah
hayut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur'an, Fatimah pun
memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir
hayatnya dalam keadaan mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari
usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya di saat dewasa.
Rasul saw meninggalkan
dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian Rasul saw
merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa
memikul besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu
menangis.
Belum lagi usai musibah
itu, Fatimah as mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang
berebut kekuasaan dan kedudukan.
Setelah mereka merampas
tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah
(kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra’ as berupaya untuk mempertahankan haknya dan
merebutnya dengan keberanian yang luar biasa.
Imam Ali as melihat
bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayidah Fatimah as secara
terus menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar, hingga dengan
begitu seluruh perjuangan Rasul saw akan sirna, dan manusia akan kembali ke
dalam masa Jahiliyah.
Atas dasar itu, Ali as
meminta istrinya yang mulia untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga
risalah Islam yang suci.
Akhirnya, Sayidah
Fatimah as pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum
muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan
kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah SWT.”
Sayidah Fatimah as diam
dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan
di tengah malam secara rahasia.
VIII.
Wafatnya
Fatimah Az-Zahra
Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian
perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatimah Az-Zahra’ as sepeninggal
Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang
ayah tercinta. Kesedihan senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan,
terlebih ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna Muhammadan(r) Rasulullah.
Kerinduan
Sayidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan
dadanya. Bahkan kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa
lemah, tidak lagi sanggup menahan renjana jiwanya kepada ayah tercinta.
Demikianlah keadaan Sayidah Fatimah as
saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain
yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja
memasuki usia 3 tahun.
Yang paling berat dalam perpisahan ini,
ia harus meninggalkan suami termulia, Ali as, pelindung ayahnya dalam jihad dan
teman hidupnya di segala medan.
Sayidah Fatimah as memejamkan mata untuk
selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anak-anaknya yang masih
kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara
rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian
terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang dirinya.
Fatimah Az-Zahra’ as senantiasa
memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya yang
telah dirampas. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia
dan kemisterian kuburan beliau.
Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as
duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti angkasa.
Kemudian Imam as mengucapkan salam, “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah
... dariku dan dari putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat
datang menjumpaimu.
"Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku
atas kepergian putrimu, dan telah berkurang pula kekuatanku ... Putrimu akan
mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan
yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian
berdua!”
IX.
Kedudukan
Fatimah Az-Zahra
Meskipun kehidupan beliau sangat singkat, tetapi
beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi alam semesta. Beliau adalah
panutan dan cermin bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan,
istri tauladan dan figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan
dan kesempurnaan yang dimiliki ini, beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il
Alamin”; yakni Penghulu Wanita Alam Semesta.
Bila Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Firaun, dan
Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu kaum wanita pada
zamannya, tetapi Sayidah Fatimah as adalah penghulu kaum wanita di sepanjang
zaman, mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman.
Beliau adalah panutan dan suri teladan dalam segala
hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah dan ikut serta
merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu merawat
dan melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya,
hingga suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya.
Demikian pula ketika beliau menjadi seorang ibu.
Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar cinta, kebaikan,
keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan, Husain, dan Zainab as adalah
anak-anak teladan yang tinggi akhlak dan kemanusiaan mereka.
KESIMPULAN
Fatimah Az-zahra adalah
putri ke4 Rasulullah Saw. Dari istrinya yang bernama Khadijah. Beliau juga
merupakan seorang istri dari khalifah Ali bin Abi Thalib dan memiliki anak yang
bernama Hasan ,Husein dan Zainab. Setelah menikah dengan Amirul Mukminin Ali
a.s., ia dikenal sebagai seorang wanita figur di sepanjang sejarah. Dalam
kehidupan berumah tangga ia adalah seorang wanita figur, dan dalam beribadah
kepada Allah ia juga dikenal sebagai wanita teladan. Setelah selasai dari semua
kewajiban sebagai ibu rumah tangga, ia dengan penuh khusyu’ dan rendah hati
beribadah kepada Allah serta berdoa untuk kepentingan orang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar